Puisi Rahasia
Malam itu, sebelum menulis cerita, Rudi membaca lagi puisi lama. Puisi yang
dia tulis untuk Ira, kekasihnya. Puisi yang kira-kira berbunyi seperti ini: Seperti fajar yang melewati sesela jendela kamarmu, Ir, begitu juga rindu ini ingin datang kepadamu. Rindu yang aku bungkus dengan sebentang kenangan tentangmu.
***
“Khadijah! Sudah malam, Nak. Tidur, jangan
ganggu Abi.”
“Gak mau ah, Khadijah mau menemani Abi
bekerja,” jawab Khadijah. Gadis lima tahun itu malah bergelung, bergayutan di
pangkuan Rudi, Abinya.
Siti, istri Rudi keluar dari kamarnya. Dengan
penuh kasih, ia mengusap kepala Khadijah.
“Khadijah mau bantu Abi kerja?” kata Siti.
“Iya. Khadijah mau jadi penulis kayak Abi.”
“Wah? Bagus sekali,” sahut Siti, “tapi
sekarang sudah malam. Khadijah harus istirahat. Besok Khadijah harus ke sekolah
kan? Penulis juga perlu sekolah lho,” kata Siti lagi.
Khadijah tersipu. Siti menarik anaknya dan
membawanya dalam gendongan.
“Abi, Khadijah tidur dulu. Bikin cerita yang
bagus ya, Abi. Khadijah sayang Abi.”
“Iya, Khadijah. Abi juga sayang Khadijah.”
***
Siti terbangun dan melihat suaminya tertidur
di sofa. Layar komputer masih menyala. Siti membaca tulisan di sana. “Sebuah
cerita,” gumamnya. Dan dia mulai membaca:
Rahasia Hujan
Hujan tidak begitu deras
ketika Ira tiba-tiba datang ke kamar kosku malam ini. Kedatangan yang tidak
biasa dan membuatku bertanya-tanya. Tahulah, sebelum-sebelumnya Ira tak pernah
lupa untuk mengabariku jika Ia berniat
datang. Tapi sudahlah. Toh, sekarang Ia sudah berada di sini.
“Apa kau sudah bosan
denganku?” tiba-tiba Ira menubrukku dengan pertanyaan yang sama sekali tidak
aku harapkan. Tapi nasi telah menjadi bubur.
“Bagaimana lagi mesti aku
jelaskan?” sergahku membela diri.
“Tentu saja kau tak perlu
menjelaskan apa-apa. Cukuplah sepasang tangan kalian yang bergandengan itu yang
menjelaskan kepadaku.”
Hujan terus menghantam
segala yang ada di luar. Genting, batu, daun-daun trembesi yang menjulang di
pelataran, dan kolam. Ya, kolam.
“Aku juga tidak
menginginkan hal itu terjadi, Ira. Maksudku, semuanya tidak seperti yang kau
lihat.”
“Tapi kau tak menolaknya.
Kau tak menolak saat perempuan itu meraih tanganmu. Iya kan?” Nada suaranya
semakin tinggi.
“Ya, terserah kau saja.
Aku capek berdebat denganmu.”
Kami mematung. Saling
memunggung. Dingin menyergap, bagai gulungan kabut gunung.
“Jadi benar kata Abi,”
katanya, pelan. Tapi pasti, ucapannya itu membuat balungku lemas.
Di luar, kudengar kodok
dan jangkrik masih menabuh laras. Laras cemas, sepasang hati kami yang kian
getas.
***
Hujan yang tak kunjung redah memaksa Ira singgah lebih lama di sebuah Halte, sore itu. Halte, di mana kisah ini bermula.
Warung kopi tempatku
berada kini hanya sepuluh meter dari halte. Aku mengamatinya. Aku mengamatinya sejak dua minggu terakhir. Dia akan
menunggu bis di halte itu setiap pukul 16.00, kecuali sabtu dan minggu saat tidak ada kuliah.
Oh, mula-mula,
perkenankan aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Namaku Salam. Rudi
Salam. Aku adalah mahasiswa ekonomi semester enam. Aku tinggal di sebuah rumah
kos di sekitar kampus. Tempat kos yang asri dan nyaman, sebab di sana ada taman
dan kolam. Di taman itu, kalau malam datang, aku suka berdiam. Entahlah,
rasanya dengan berdiam di taman pikiranku yang sesak oleh aneka tugas
perkuliahan terasa jembar. Tapi, cukup dulu soal taman.
Sebagai mahasiswa rantau,
aku harus banyak bersabar, terutama soal makan. Maklum, jatah dari orang tua
memang hanya cukup untuk “bertahan”. Sementara untuk kebutuhan lain, seperti
buku, rokok, dan jajan aku dapatkan dari hasil mengajar privat. Lumayan. Aku
tidak perlu menjelaskan panjang lebar bagaimana suka dukaku sebagai mahasiswa
yang juga bekerja sebagai guru privat. Yang ingin aku katakan adalah, lewat
lembaga bimbingan belajar yang menyalurkanku, aku mengenal perempuan bernama
Siti.
Siti perempuan yang baik.
Dia sering mentraktirku makan. Dan kalau hatinya lagi senang, Siti suka
memperlakukanku seperti kotak amal. Tapi, kalau harus berterimakasih, maka
dengan senang aku katakan bahwa Sitilah yang membuatku tahu bahwa perempuan
yang kini sedang kuamati itu bernama Ira, bukan Ratna atau Mawar, seperti
pernah kupikirkan.
“Ira itu anak kyai, lho,
Rud,” begitu Siti pernah menjelaskan.
“Kalian teman dekat?”
tanyaku penasaran.
“Ya, sedekat telunjuk dan
ibu jari. Kami satu kelas. Kebetulan bintang kami sama-sama libra. Kami
mempunyai banyak kesamaan. Ya, soal bintang yang sama, itu kebetulan saja lah.
Yang jelas, Ira dan aku banyak berbagi cerita apa saja. Suka dan duka,” katanya.
“Bisa kau kenalkan aku
padanya?” pintaku begitu polosnya.
“Tidak,” jawab Siti seenaknya.
Dan setelah beberapakali aku mendesaknya, Siti tetap bersikukuh bahwa dia tak
mau mengenalkan aku pada Ira. Titik.
Ya, begitulah singkatnya.
Dan sekarang, seperti hari yang sudah-sudah, aku hanya bisa mengagumi Ira dari
dalam warung ini saja. Ah, kopi, hujan, dan Ira. Sama manisnya, sama sunyinya.
***
Seperti perempuan yang
menerima tulah kutukan, Siti mematung. Wajahnya menyiratkan ketidakpercayaan
pada apa yang baru saja didengarnya. Sementara aku diliputi kegembiraan luar
biasa, kegembiraan seorang pejuang yang baru saja memenangi sebuah pertempuran.
“Nah, kan, apa aku
bilang? Kau pasti tidak percaya,” kataku.
“Aku tidak menyangkal
kata-katamu, Rud. Aku hanya menyesal, kenapa aku mendengar cerita ini darimu, bukan
Ira,” kata Siti.
“Aku sengaja melarangnya
untuk bercerita dengan orang lain.”
“Walaupun denganku?”
desaknya.
“He’em.”
“Kenapa?”
“Entahlah.”
“Kau tidak yakin, ya? Kau
mau main-main?”
“Bukan.”
“Karena orang tuanya?”
bidik Siti. Pas kena di pusat masalahnya. Situasi jadi berbalik. Siti terkekeh,
merasa ucapannya hanya gurauan yang hampa. Sedang aku adalah lelaki durhaka
yang baru saja terkena kutukan ibunya.
“Kok bengong?” kata Siti,
tanpa menyadari kekalutan yang tengah merambati pikiranku.
Sebenarnya aku bukanlah
orang yang suka berteka-teki. Tetapi kali ini aku benar-benar tak bisa berbuat
apa-apa kecuali diam.
“Rud? Misterius banget
sih,” kata Siti, “Wah, wah, cinta memang penuh teka-teki. Sekali waktu kau bisa
dibuatnya begitu bahagia. Tetapi di waktu lain, kau pun tak bisa menolak, bila
durinya menusuk ke jantung – hati,” kata Siti lagi.
“Bukan, Sit, ini bukan
soal duri.”
“Lalu?”
“Apa kau mau berjanji?
Kau akan merahasiakan apa yang akan aku ceritakan nanti?”
“Wah, serius sekali?”
“Janji?”
“Ya, ya, aku bernjanji.”
“Salaman.”
“Oke.”
Dan sitipun mengucap
janji.
Begitulah akhirnya aku
ceritakan pertemuanku dengan Abi, ayah Ira kepada Siti. Dia pendengar yang
baik. Bila aku terlalu cepat, dia memintaku berhenti dan mengulangnya lagi.
Bila ada yang tidak dia mengerti, dia memintaku menjelaskan secara lebih rinci.
Dan sebelum semua ceritaku berakhir, kulihat
mendung bergayut di wajah Siti. Mendung tipis tapi cukup membuatku mengerti.
Dia bersimpati. Simpati yang ikut mengalir di kedua pipi Siti, saat cerita
kuakhiri.
“Jadi apa rencana kalian?
– eh, maaf ya, aku sampai menangis,” kata Siti.
“Iya, aku mengerti.
Terimakasih, kau baik sekali,” kataku, “entalah, yang jelas, kami jalani saja
semua ini dengan berserah diri.
Sebab....”
“Manusia mungkin
merencanakan. Tetapi hanya Allah lah sebaik-baik perencana,” sahut Siti
bersahaja. Sore hampir habis, malam mengambang di udara yang basah.
“Pukul lima. Kita pulang
sama-sama?” kata Siti dalam senyum bunga seroja. Lampu kafe mulai menyala.
***
“Selamat tinggal, Rud.
Semoga Allah memberikan yang terbaik buatmu,” kata Ira.
kodok dan jangkrik masih
menabuh laras. Laras cemas, perahu hati kami yang kandas. Dari jendela, hanya
dari jendela aku melepasnya, dia yang kini berlari di antara hujan yang mulai
deras. Tanpa payung, tanpa alamat.
....
Siti berhenti membaca. Batinnyalah yang
membuatnya tak sanggup melanjutkan membaca. Ya, cerita yang dibacanya, tak lain
cerita yang dulu mereka lewati bersama. Lalu sambil menahan agar tak ada air
mata yang jatuh dari matanya, Siti menutup layar komputer dan mematikannya.
Seperti hendak menutup katup kenangan yang kita menyergapnya.
“Abi....” bisik Siti perlahan ke dekat telinga
suaminya. Susah payah Rudi berusaha membuka mata. “Abi, tidur di dalam ya,”
kata Siti dengan ketenangan yang luar biasa. Rudi tersenyum dan meraih tangan
istrinya untuk membantunya bangkit dari sofa.
***
Siti kembali ke kamar setelah menyelesaikan
tahajudnya. Dilihatnya Rudi dan Khadijah yang tengah terlelap. Dia sungguh
ingin melupakan cerita yang baru saja dibacanya. Tetapi pikirannya terus saja
dihantui oleh bayang-bayang masa lalunya. Masa-masa di mana dia, Rudi, dan Ira
masih bersama. Ya, diam-diam, perasaan bersalah bangkit dari masa lalu yang tak
ingin dikenangnya. “Ah, Rud, bahkan sampai kini kau tak pernah melupakannya.”
Alfan dan Didik W
Surabaya, 2012
No comments:
Post a Comment