Tuesday 10 November 2015

cerpen-sebuah hidangan

Sebuah “Hidangan”
Karya Alfanani

 
Pada suatu maghrib, beberapa koki membuat adonan kemelaratan yang sengaja diracik dengan aroma kesengsaraan dan diproduk sedemikian masal untuk sebuah hidangan pesta yang bertema kerakyatan.
Hampir semua koki dan crew berdandan necis. Menyuguhkan makanan, mempersilahkan para undangan yang notabene warga perumahan di komplek Kemiskinan dengan santun dan manis walau sebenarnya sinis.
Para koki itu merangkainya sedemikian rupa, ia sembunyikan kebusukan dan kelicikan dibalik baju putih dan kopyah yang begitu setia walau sebagai payung kebohongan. Tak lama kemudian semua makanan sudah siap. Tempat sudah rapi. Tinggal menunggu para undangan datang.
Satu persatu warga kompleks perumahan kemiskinan datang dengan begitu ceriah. Ada yang berpakaian batik dengan motif ketidak percayaan atas pemerintahan , ada yang pakai baju kotak kotak dengan warna kelelahan karena apa yang mereka inginkan tak kunjung ia dapatkan, ada yang memakai baju dan sarung warna putih dengan kopyah harapan dan semangat untuk merubah keadaan menjadi layak untuk hidup di kehidupan bagi orang-orang sepertinya.
Para koki dan crew menyambut hangat undangan yang datang. Berjabat tangan, mempersilahkan masuk dan duduk di kursi-kursi yang sudah di sediakan. Mereka semua masuk dan duduk. Memandangi sekitar yang sama sekali tak tampak sebuah pesta kegembiraan dan kebahagiaan, malah yang terlihat dari ornamen-ornamen tersebut adalah wajah ketidakadilan, keserakahan, ketamakan, kerakusan yang mereka lihat ada di mana-mana. Menempel di piring-piring, di gelas-gelas, di sound-sound dan juga tak luput di pakaian yang di kenakan koki dan crew.
Nah sekarang, salah satu koki berpangkat pimpinan mulai membuka acara. Bicara ini, bicara itu, berlagak sebagai pahlawan yang rela tidak makan dulu sebelum semua undangan merasa puas dan kenyang, juga sesekali memberi fatwa bak ulama’. “ silahkan bapak/ibu undangan sekalian untuk menyantap hidangan yang sudah kami persiapkan. Ayo jangan malu” kalimat terakhir pidato pembukaan acara tersebut.
Tanpa malu-malu warga komplek kemiskinan itu menyerbu makanan di meja yang sudah di sediakan. Mengambil piring, sendok, garpu yang tertumpuk rapi di sebelah kanan tempat para undangan duduk. Sedang makanan, minuman sejajar di sebelah kiri.
Para warga komplek kemiskinan hampir kebingungan untuk memilih makanan mana yang akan di makan. Ada nasih kuning dengan tiga macam taburan serundeng; taburan pertama adalah keterbatasan lapangan pekerjaan, taburan ke dua adalah kebijakan-kebijakan para penguasa yang sama sekali tidak mengatasnamakan rakyat sebagai acuan pengambilan keputusan, taburan ke tiga adalah ketidak seriusan pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan atau sengaja untuk tidak serius agar negara ini mendapat perhatian dan simpati khusus dari negara-negara lain.
Selain itu ada juga sate. Sate inipun unik dan beraneka ragam. Mulai dari sate yang mengambil bahan dasarnya kebahagiaan, ke senangan, cita-cita bersama, keharmonisan hidup bermasyarakat, kepedualian, keadilan, dan seterusnya.
Para warga undangan dari kompleks kemiskinan memakanya dengan lahap dan semangat. Hampir sudah tidak peduli bahanya apa dan bagaimana cara memasak sedemikian itu. toh sama saja, enak tidak enak hanya sebatas kebutuhan syaraf perasa yang kemudian hilang jika sudah melewati lambung. Jadi adonan apapun yang disediakan koki itu sudah tidak lagi menarik, yang penting semua masuk dalam perut. Tapi jangan salah. Warga komplek kemiskinan itu diam dan hanya makan, bukan karena mereka tidak mengerti bahan dan cara membuatnya. Tidak. mereka justru sangat mengerti dan faham bagaimana makanan-makanan itu di buat. Mereka lebih memilih diam karena suara-suara mereka tak pernah sempat di dengar, wakil-wakil yang mereka pilih untuk menyampaikan suaranya terbungkam oleh jabatan dan harta.
Sampai kapan koki dan crew itu menampakkan wajah sosialis sedang tindak tanduknya individualis.
Apa kalian tahu bahwa Para warga perumahan kompleks kemiskinan sudah tidak lagi bisa sedih. Mereka semakin pandai untuk menyiasati apapun saja yang mengarah kepada kesedihan itu sendiri sehingga kesanyapun selalu bahagia. Contohnya saja mereka selalu tertawa bahagia meski di bawah guyuran kabar-kabar kenaikan harga pangan. Apa kau masih ingat bahwa tidak ada satupun dari sekian wakil kami yang menyuguhkan payung untuk berteduh atau hanya melihat kami.
Kami hanya bisa menari, menyanyi dengan nada sunyi saat kau kencingi sungai yang setiap hari difungsikan warga untuk mandi, makan dan minum.
Sekali lagi warga perumahan kompleks kemiskinan masih tetap diam. Mereka diam tapi bukan tidur. mereka sedang mengawasi; mengawasi apa saja yang melintas di kompleks ini. mereka diam tapi hati dan otaknya terus berdzikir dan menunggu; menunggu suatu kemarau yang panjang dan ganas untuk memancing keringat dewa, agar kau tenggelam. Seperti kisah Nuh dan kaumnya yang murtad

No comments: