Sebuah “Hidangan”
Karya Alfanani
Pada suatu maghrib, beberapa koki membuat adonan
kemelaratan yang sengaja diracik dengan aroma kesengsaraan dan diproduk
sedemikian masal untuk sebuah hidangan pesta yang bertema kerakyatan.
Hampir semua koki dan crew berdandan necis. Menyuguhkan
makanan, mempersilahkan para undangan yang notabene warga perumahan di komplek
Kemiskinan dengan santun dan manis walau sebenarnya sinis.
Para koki itu merangkainya sedemikian rupa, ia
sembunyikan kebusukan dan kelicikan dibalik baju putih dan kopyah yang begitu
setia walau sebagai payung kebohongan. Tak lama kemudian semua makanan sudah
siap. Tempat sudah rapi. Tinggal menunggu para undangan datang.
Satu persatu warga kompleks perumahan kemiskinan
datang dengan begitu ceriah. Ada yang berpakaian batik dengan motif ketidak
percayaan atas pemerintahan , ada yang pakai baju kotak kotak dengan warna
kelelahan karena apa yang mereka inginkan tak kunjung ia dapatkan, ada yang
memakai baju dan sarung warna putih dengan kopyah harapan dan semangat untuk
merubah keadaan menjadi layak untuk hidup di kehidupan bagi orang-orang
sepertinya.
Para koki dan crew menyambut hangat undangan yang
datang. Berjabat tangan, mempersilahkan masuk dan duduk di kursi-kursi yang
sudah di sediakan. Mereka semua masuk dan duduk. Memandangi sekitar yang sama
sekali tak tampak sebuah pesta kegembiraan dan kebahagiaan, malah yang terlihat
dari ornamen-ornamen tersebut adalah wajah ketidakadilan, keserakahan,
ketamakan, kerakusan yang mereka lihat ada di mana-mana. Menempel di piring-piring,
di gelas-gelas, di sound-sound dan juga tak luput di pakaian yang di kenakan
koki dan crew.
Nah sekarang, salah satu koki berpangkat pimpinan
mulai membuka acara. Bicara ini, bicara itu, berlagak sebagai pahlawan yang
rela tidak makan dulu sebelum semua undangan merasa puas dan kenyang, juga
sesekali memberi fatwa bak ulama’. “ silahkan bapak/ibu undangan sekalian untuk
menyantap hidangan yang sudah kami persiapkan. Ayo jangan malu” kalimat
terakhir pidato pembukaan acara tersebut.
Tanpa malu-malu warga komplek kemiskinan itu
menyerbu makanan di meja yang sudah di sediakan. Mengambil piring, sendok,
garpu yang tertumpuk rapi di sebelah kanan tempat para undangan duduk. Sedang
makanan, minuman sejajar di sebelah kiri.
Para warga komplek kemiskinan hampir kebingungan
untuk memilih makanan mana yang akan di makan. Ada nasih kuning dengan tiga
macam taburan serundeng; taburan
pertama adalah keterbatasan lapangan pekerjaan, taburan ke dua adalah
kebijakan-kebijakan para penguasa yang sama sekali tidak mengatasnamakan rakyat
sebagai acuan pengambilan keputusan, taburan ke tiga adalah ketidak seriusan
pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan atau sengaja untuk tidak serius
agar negara ini mendapat perhatian dan simpati khusus dari negara-negara lain.
Selain itu ada juga sate. Sate inipun unik dan
beraneka ragam. Mulai dari sate yang mengambil bahan dasarnya kebahagiaan, ke
senangan, cita-cita bersama, keharmonisan hidup bermasyarakat, kepedualian,
keadilan, dan seterusnya.
Para warga undangan dari kompleks kemiskinan
memakanya dengan lahap dan semangat. Hampir sudah tidak peduli bahanya apa dan
bagaimana cara memasak sedemikian itu. toh sama saja, enak tidak enak hanya
sebatas kebutuhan syaraf perasa yang kemudian hilang jika sudah melewati
lambung. Jadi adonan apapun yang disediakan koki itu sudah tidak lagi menarik,
yang penting semua masuk dalam perut. Tapi jangan salah. Warga komplek kemiskinan
itu diam dan hanya makan, bukan karena mereka tidak mengerti bahan dan cara membuatnya.
Tidak. mereka justru sangat mengerti dan faham bagaimana makanan-makanan itu di
buat. Mereka lebih memilih diam karena suara-suara mereka tak pernah sempat di
dengar, wakil-wakil yang mereka pilih untuk menyampaikan suaranya terbungkam
oleh jabatan dan harta.
Sampai kapan koki dan crew itu menampakkan wajah
sosialis sedang tindak tanduknya individualis.
Apa kalian tahu bahwa Para warga perumahan kompleks
kemiskinan sudah tidak lagi bisa sedih. Mereka semakin pandai untuk menyiasati
apapun saja yang mengarah kepada kesedihan itu sendiri sehingga kesanyapun
selalu bahagia. Contohnya saja mereka selalu tertawa bahagia meski di bawah
guyuran kabar-kabar kenaikan harga pangan. Apa kau masih ingat bahwa tidak ada
satupun dari sekian wakil kami yang menyuguhkan payung untuk berteduh atau
hanya melihat kami.
Kami hanya bisa menari, menyanyi dengan nada sunyi
saat kau kencingi sungai yang setiap hari difungsikan warga untuk mandi, makan
dan minum.
Sekali lagi warga perumahan kompleks kemiskinan
masih tetap diam. Mereka diam tapi bukan tidur. mereka sedang mengawasi;
mengawasi apa saja yang melintas di kompleks ini. mereka diam tapi hati dan
otaknya terus berdzikir dan menunggu; menunggu suatu kemarau yang panjang dan
ganas untuk memancing keringat dewa, agar kau tenggelam. Seperti kisah Nuh dan
kaumnya yang murtad
No comments:
Post a Comment