Suara
Tangis Kartika
Karya Alfanani A
Sebuah rumah, didekat pesisir terkenal
menyeramkan. Hampir seluruh penduduk desa enggan melintasinya. Rumah yang bisa
ditempuh dengan berjalan
kaki beberapa kilo
ke utara dari desa. Pepohonan
besar dan rindang menutupnya. Jika dilihat
dari jauh, pepohonan itu menyerupai anak gunung. Dari rumah itu, suara tangis wanita
kerap kali menghantui seluruh penduduk desa.
“Sebenarnya suara tangis itu
hanya muncul di bulan Agustus. Tapi entah kenapa, sekarang suara itu muncul
setiap malam” begitu ungkap Kepala Desa pada seorang dukun. Ya, dukun. Ki Tarto
namanya. Dukun sakti mandraguna itu, sengaja di datangkan Kepala
desa untuk mengatasi tangisan wanita yang kerap menghantui
penduduk desa.
Sebagai sesaji, Ki Tarto
meminta saat malam jum’at disiapkan tiga ayam jantan hitam dan dupa. “setelah
sesaji siap, aku akan datang ke desamu. Sekarang pulanglah” kata Ki Tarto
lirih.
Kepala desa tak berucap
apa-apa, hanya mengangguk dan meninggalkan amplop yang berisi uang di depan
tempat semedi Ki Tarto. Entah berapa isinya.
Ketika warga telah selesai
menyiapkan sesaji yang diminta Ki Tarto, malam itu juga Ki Tarto tiba-tiba
datang dan duduk bersilah di dekat tempat sesaji. Sambil komat-kamit, iya keluarkan
sebilah keris dari balik punggungnya. Tiga ayam jantan hitam pun di tebasnya
dengan ringan. Ki Tarto berhenti sejenak lalu terkekeh. Warga yang berkerumun
pun semakin penasaran, apa lagi yang hendak Ki Tarto lakukan?
Tak lama kemudian, Ki tarto
berjalan ke arah makam. Warga yang penasaran terus membuntutinya. Satu dupa iya
nyalakan di tengah kuburan desa. Setelah itu iya berhenti di pohon beringin tua
di perbatasan utara desa. Tak tanggung-tanggung, Ki Tarto menyalakan 7 dupa dan
menyuruh warga untuk menancapkan di sekelilingnya. Lokasi ke tiga tidak lagi
dengan dupa. tapi dengan darah. Darah ayam jantan yang telah Ki Tarto tebas.
Iya menyiramkan darahnya di sederet pohon pisang yang juga menjadi pagar
pembatas di bagian barat desa.
Setelah itu, tak ada satupun
warga yang diperbolehkannya untuk mengikuti ritual selanjutnya. Entah apa yang
terjadi? Tak ada yang tahu. Sebab warga tak berani melanggar perintahnya. Tiba-tiba
suasana sudah berganti pagi. Kami pun terbangun saat kokok ayam jantan
menghujat dengan lantang. Saat itu semua warga terkagum-kagum pada Ki Tarto,
sebab ini adalah malam pertama warga tidur nyenyak setelah 4 bulan terganggu
suara tangis. Ki Tarto benar-benar sakti. Dukun
itu berhasil menghentikan suara tangis tersebut. Tapi tak lama, hanya satu minggu.
Mendengar suara tangis wanita muncul
kembali, Kepala Desa itu marah. Mendatangi rumah Ki Tarto dengan maksud
melabraknya karena ketakpecusannya. Setelah sampai di halaman rumah Ki Tarto. Kepala desa mematung
melihat rumah dukun itu yang tak karuan. Akar-akar pepohonan telah mencengkram
dan melumatnya. Dari samping rumah itu Ki Tarto berjalan sempoyongan seorang.
Iya berkostum seperti penyihir.
Setelah dibukanya kostum itu,
lurah muntah-muntah melihat wajah dukun itu berubah menjijikkan.
Wajah dan seluruh tubuhnya mengeluarkan lendir. Lendir
yang baunya amis. Seperti darah.
“iya membalas seranganku. Aku
tak bisa menangkalnya. Kemampuanku tak sebanding”
“lalu bagaimana nasib kami Ki?”
Tak ada kata-kata lain dari Ki
Tarto. Iya mengangkat tangannya dan pegi.
Mendengar cerita dari Kepala
Desa itu, Para penduduk semakin takut. kejadian aneh yang menimpa dukun itu membuat jantung
penduduk desa seakan berhenti berdetak saking takutnya.
Warga yang ketakutan
meninggalkan desa. Memilih
mengungsi ke tempat yang aman. Bagaimana
tidak. dusun sakti mandraguna pun tak bisa mengatasinya.
***
Pagi. seorang pemuda bernama Lukman
tengah berkata kepada salim, temanya, bahwa semalam
dia bermimpi. Seorang gadis yang teramat cantik
datang padanya. Gadis itu mengendarai malam. Bergelayut diantara pepohonan dan
angin. Menyelinap masuk. lukman menatapnya. Gadis itu datang dengan telanjang,
menyuguhkan tangan dengan begitu
polosnya. Tanpa pikir lagi, Lukman meraihnya.
Kecantikan gadis itu tak kuasa menahan
nafsu birahi lukman. Tanpa malu, lukman melumat bibir dan mencengkram
payudaranya. Sedikitpun gadis itu tak menolak, bibir lembutnya menjelajahi tubuh lukman dan
berhenti di kemaluanya yang tegak. Bibir mereka saling melumat. Perlahan, baju dan celana lukman
dilucutinya.
Kini mereka sama-sama telanjang.
Gadis itu mendorongnya hingga
terlentang. Menaiki tubuh lukman yang berkeringat. Dari ujung kaki hingga
sampai kemaluannya tak luput dari bibir gadis itu. Lukman meronta tak tahan. Gadis
itu perlahan memasukan kemaluan lukman ke dalam lubang kemaluanya. Lukman hanya
terlentang. Sedang gadis itu naik turun diatas tubuhnya.
Dan setelah kenikmatan mereka tumpah.
Lukman terlentang lemas. gadis itu berbaring di dekapannya. Lukman menciumi
keningnya. Mereka masih dalam keadaan telanjang. Lukman tak peduli siapa gadis
itu. Ia hanya memikirkan bagaimana akan bertemu dan menjelajahi tubuh dan liang
Vaginanya lagi. Gadis itu tersenyum
lembut. Matanya sayu. Cantik sekali. Lukman hanya menayakan namanya.
“kartika” jawabnya singkat.
Kemudian gadis itu menarik tangan
lukman. Mengajaknya berjalan menyusuri hutan.
Hutan kenangan yang menyimpan masa lalunya yang suram.
***
Kartika adalah kembang desa. Seluruh keluarganya tak ada yang selamat. Konon, saat
penjajahan, keluarga Kartika dibantai oleh kompeni karena menghasut warga untuk
tidak membayar pajak. Tida ada yang berani melawan. Seluruh penduduk desa hanya
bisa melihat betapa sadisnya pembantaian itu.
Kartika disembunyikan dalam
sumur tua di pekarangan belakang rumah. Waktu itu, Kartika masih bayi. Saat setelah
pembantaian selesai. Seorang nenek mendengar tangisan bayi di dalam sumur tua
di belakang pekarangan. Nenek itulah yang membesarkan kartika. Di usia 17
tahun, nenek kartika meninggal. Bermodalkan seadanya, Kartika membuka
warung makan di depan rumahnya. Dari usahanya itulah kartika menyambung hidup.
Kartika tumbuh menjadi gadis belia yang cantik. Iya selalu
menjadi bahan perebutan pemuda. Tidak hanya di desanya, bahkan berita tentang
kecantikanya meluber ke desa-desa tetangga. Maklum, selain cantik, Kartika juga baik hati.
Bukan hanya para jejaka yang
mengincarnya, para lelaki yang telah beristri juga menginginkan Kartika.
Kartika memang cantik. Ya, untuk kelas desa, kecantikannya memang luar biasa.
Tetapi justru dari kecantikannya itulah, Kartika kerap dikambing
hitamkan oleh para wanita yang tengah bersuami. Mereka iri pada Kartika. Sebab, suami-suami mereka
lebih memilih makan di warung kartika dari pada makan masakan istrinya dirumah.
Hingga suatu malam, rencana busuk pun digagas para ibu-ibu untuk
menyingkirkan Kartika dari desa.
“caranya bagaimana?” salah seorang ibu bertanya.
“kita suruh pemuda dari luar desa untuk bermalam
dirumah kartika”
Rencana tersebut disepakati.
Malam, saat Kartika selesai menutup warungnya, datang seorang pemuda bertubuh
kurus. Wajahnya dekil. Ia datang dengan sempoyongan sembari memegang perutnya.
Melihat kondisi yang demikian, Kartika tidak tega dan mengikhlaskan sepiring
nasi jatah sahurnya untuk dimakannya. Melihat pemuda yang makan begitu
lahabnya, Kartika juga menawarkan roti tawarnya untuk dia bawa sebagai bekal.
Pemuda yang mengaku dari luar
pulau itu berterimakasih atas kebaikan yang diberikan oleh Kartika. Setelah
merasa kenyang. Ia pun lantas melanjutkan aksinya dengan pura-pura mules dan
meminta pada Kartika untuk mengantarkannya ke kamar mandi. Tanpa kecurigaan
sedikitpun, dengan segera Kartika mengantarnya. Hanya sebentar. Suara
sayub-sayub keributan terdengar. Tak lama kemudian, suara sayub-sayub itu semakin
jelas dan keras. Seperti sedang mendekat. Penasaran, Kartika mengintip dari
balik jendela. Tiba-tiba warga sudah berkumpul di depan
rumahnya. Meneriaki kartika bermacam-macam. “keluarkan pezina, bunuh Lonte, bakar saja, mbokne ancok” dan seterusnya. Kartika
kaget luar biasa lalu keluar.
Kaget yang bercampur takut juga
bingung membuat Kartika mati langkah. Ia hanya bisa menangis mendengarkan
teriakan warga yang tak sepantasnya Kartika dengar. Beberapa menit kemudian,
pemuda itu keluar dan sedang membenahi resletingnya yang macet. Kekesalan warga
semakin memanas. Kartika dan pemuda itu nyaris di telanjangi dan dipukuli.
Tetapi salah seorang Ustadz melarangnya. Ia mengusulkan kepada warga agar
Kartika dan pemuda itu untuk dibawa ke balai desa, agar segera di proses secara
benar sesuai dengan hukum yang berlaku di negara kita ini. Begitu katanya.
Warga setuju dan membawa
Kartika juga pemuda itu ke balai desa.
“saya tidak melakukan apa-apa pak” kata
kartika di hadapan lurah.
Salah seorang istri bersaksi bahwa Kartika menerima tamu laki-laki setiap
hari diatas jam 12 malam “ini bukti bahwa dia
telah melakukannya dengan lelaki yang bukan suaminya”
Suara warga pecah. Mereka berteriak.
“bakar saja”, “bunuh”, “telanjangi dia”, kubur hidup-hidup”.
“tenang-tenang. Semuanya harus diproses
sesuai hukum yang berlaku. Kita tidak boleh
main hakim sendiri” kata lurah. Mencoba menenangkan
warga.
“Kartika
telah mengotori desa ini. dia pantas diasingkan”
Istri lain berteriak
Karena kartika tidak mampu meyakinkan
lurah atas tuduhan warga. Maka
berdasarkan kesepakatan dan hukum adat yang berlaku, Kartika
harus diasingkan dari desa.
Ia tidak boleh menampakkan batang hidungnya lagi di desa untuk selamanya. Sedang untuk pemuda dipulangkan ke desanya dan diproses
sesuai hukum adat yang berlaku di desanya.
Keputusan yang tidak adil untuk kartika.
Jelas saja. Ternyata
lurah telah bersekongkol
dengan para istri. Ia telah menerima uang dari para
istri untuk menjatuhi hukuman yang sudah diminta sebelumnya.
Air mata dan suara tangis kartika
mengiringi sepanjang perjalananya keluar desa. Hingga sampailah ia disuatu pohon besar yang
letaknya beberapa kilo di utara desa. Kartika berhenti, tapi tidak dengan
tangisnya.
Begitulah kartika membawa lukman
menjelajahi hutan kenangan yang suram. Lalu, kartika mengantarkanku kembali. Dari balik
jendela, aku
melihatnya berjalan ke utara. Dan lenyap diantara kabut.
“kalau benar begitu, sebaiknya kita
bilang ke lurah, Man. Mungkin itu petunjuk” kata salim.
Mereka bergegas ke lurah dan
menceritakan semuanya.
***
No comments:
Post a Comment